Salam

Assalamu'alaikum Wr, Wb. Selamat Datang di ARTAN FLASH blognya DWI ARTANTO, Semoga Bermanfaat Untuk Anda

Rabu, 11 Juli 2012

Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI


Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan.  Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat.  Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan  wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berubalang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern). Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis  kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah!
Baca juga:
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/04/hisab-wujudul-hilal-muhammadiyah-menghadapi-masalah-dalil-dan-berpotensi-menjadi-pseudosains/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/25/menuju-titik-temu-hisab-wujudul-hilal-dan-hisab-imkan-rukyat/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/03/mengalah-demi-ummat/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/05/kita-kritisi-wujudul-hilal-tetapi-kita-semua-mencintai-dan-menghormati-muhammadiyah/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/04/wujudul-hilal-tidak-ada-dasar-pembenaran-empiriknya/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/30/muhammadiyah-menuju-persatuan-semangat-kalender-unifikasi-didasarkan-pada-hisab-imkan-rukyat/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/05/wujudul-hilal-yang-usang-dan-jadi-pemecah-belah-ummat-harus-diperbarui/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/01/19/kritik-pakar-astronomi-muslim-dari-timur-tengah-dan-amerika-atas-penetapan-idul-fitri-1432-dan-penggunaan-wujudul-hilal/

Jumat, 15 Juni 2012

Untuk Keempat Kalinya, Purbalingga Kembali Raih Adipura



PURBALINGGA, HUMAS - Kabupaten Purbalingga kembali meraih penghargaan anugerah Adipura untuk kategori kota kecil. Penghargaan dijadwalkan akan diberikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara Jakarta, Selasa (5/6) pukul 09.00 WIB. Penghargaan Adipura tahun 2012 ini merupakan penghargaan Adipura keempat sejak tahun 2009.
            Kasubag Analisis dan Kemitraan Media pada Bagian Humas Setda Purbalingga Ir Prayitno, M.Si menyatakan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup di Jakarta telah melayangkan surat bernomor B-5665/DEP-IV/LH/06/2012 tertanggal 1 Juni 2012. Surat tersebut dikirim melalui faxcsimil dan diterima oleh Pemkab Purbalingga pada Sabtu 2 Juni 2012 sore. Isi surat tersebut tentang pemberitahuan kabupaten/kota di Indonesia yang mendapatkan Adipura 2011 – 2012. “Dalam lampiran surat tersebut, Purbalingga juga meraih nilai pasar terbaik untuk kategori kota kecil,” kata Prayitno, Sabtu (2/6).
            Prayitno menjelaskan, selain Purbalingga, di Jawa Tengah, wilayah yang meraih Adipura antara lain Kabupaten Temanggung, Boyolali, Slawi (Kabuaten Tegal), Pati, Grobogan, dan Kabupaten Wonosobo.
            Dikatakan Prayitno, Anugerah Adipura merupakan implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang secara konsisten terus dilakukan dengan berbagai upaya ke seluruh pihak untuk meningkatkan kepedulian berbagai lapisan masyarakat. Kementerian Negara Lingkungan Hidup telah memberikan penilaian kebersihan dan keteduhan kota melalui Program Adipura di sejumlah kota sejak bulan Oktober tahun 2011 lalu, termasuk di Purbalingga.
            “Program Adipura memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan kinerja pengelolaan lingkungan yang lebih bersih, teduh dan nyaman,” tambah Prayitno.
            Sementara itu Bupati Drs H Heru Sudjatmoko, M.Si menyatakan, penghargaan Adipura merupakan hasil jerih payah seluruh lapisan masyarakat Purbalingga. “Penghargaan ini harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari dengan terus meningkatkan kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kota,” kata Bupati Heru.
            Heru menambahkan, kota purbalingga telah empat tahun berturut-turut memperoleh adipura. Hal ini memberikan konsekuensi logis yang berat bagi kita untuk menunjukkan kalau kita memang layak memperoleh penghargaan itu. “Penghargaan Adipura bukan sebagai tujuan utama. Yang terpenting pola hidup sehat dan bersih harus terus menjadi budaya masyarakat Purbalingga. Semua pihak juga perlu terus melaksanakan gerakan menanam dan memelihara pohon dan sekaligus menanamkan budaya bersih sejak dini,” tambah Heru.