AL QUR'AN
Keutamaan Ayat Kursi
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255)
”Allah tidak ada Ilah melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk
dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah
yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Keutamaan Ayat Kursi
Ayat ke 255 dari surat al-Baqarah ini dikenal dengan ayat al-Kursi, karena di dalamnya disebutkan tentang Kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ayat ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan ia juga
memiliki keutamaan-keutamaan yang banyak. Banyak hadits, baik yang
shahih maupun hasan yang menjelaskan tentang keutamaan ayat yang mulia
ini. Di antara keutamaan-keutamaan ayat yang mulai ini adalah sebagai
berikut:
Ayat Kursi adalah Benteng Bagi Pembacanya
Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahihnya meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
وَكَّلَنِى النَّبِىّ، عليه السَّلام، بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِى آتٍ، فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ، وَقُلْتُ: وَاللَّهِ لأرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ: إِنِّى مُحْتَاجٌ ولىَّ عِيَالٌ، وَبِى حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، قَالَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فأَصْبَحتُ، النَّبىُّ فقال: « يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ » ؟ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: « أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ، وَسَيَعُودُ » ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُودُ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِنَّهُ سَيَعُودُ، فَرَصَدْتُهُ، فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لاَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ: دَعْنِى فَإِنِّى مُحْتَاجٌ، وَعَلَىَّ عِيَالٌ لاَ أَعُودُ، فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِى النَّبىِّ: « يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ؟ » قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً، فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، قَالَ: « أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ، وَسَيَعُودُ »، فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ، فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ، فَقُلْتُ: لاَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَهَذَا آخِرُ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ تزعم أَنَّكَ لاَ تَعُودُ، ثُمَّ تَعُودُ، قَالَ: دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا، قُلْتُ: مَا هِىَ؟ قَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ، )) الله لا إله إلا هو الحي القيوم(( حتى تختم الآية، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِى النَّبىِّ عَلَيِه السَّلاَم: « مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ » ؟ قُلْتُ: زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ، وحكيت له القول، فَقَالَ النَّبىُّ - صلى الله عليه وسلم - : « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ، وَهُوَ كَذُوبٌ تعلم من تخاطب منذ ثلاث ليال يا أبا هريرة). قال: لا، قال: « ذَاكَ شَيْطَانٌ » .
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mewakilkan kepadaku (menugaskanku) untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat
Fithri), lalu ada yang mendatangiku (untuk mencuri). Kemudian mulailah
ia mengambil makanan dengan kedua telapak tangannya, maka aku tangkap
dia dan aku berkata:”Demi Allah, sungguh akan aku laporkan engkau kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” Ia berkata”Sesungguhnya aku memiliki kelurga yang harus dinafkahi dan aku juga memiliki hajat (kebutuhan) yang mendesak.” Abu Hurairah berkata:”Maka aku melepaskannya.” Ketika waktu pagi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku:”Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu semalam?” Abu Hurairah berkata, aku menjawab:”Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
ia mengadukan tentang kebutuhannya yang mendesak, dan keluarganya yang
harus dinafkahi, lalu aku kasihan kepadanya dan aku lepaskan dia.”
Beliau berkata:i]”Sesungguhnya ia telah membohongimu dan ia akan
kembali.” Maka akupun mengetahui kalau ia (pencuri itu) akan datang
kembali berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa
ia akan kembali. Maka aku mengawasinya (mengintainya). Lalu datanglah
pencuri itu mengambil makanan. Lalu aku menangkapnya dan berkata
kepadanya:”Sungguh aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” Ia berkata”Lepaskan
aku, Sesungguhnya aku ini butuh (makanan), dan aku memiliki kelurga
yang harus dinafkahi. Aku tidak akan kembali lagi.” Maka akupun kasihan kepadanya dan melepaskannya. Maka di waktu pagi hari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku:”Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu semalam?” Abu Hurairah berkata, aku menjawab:”Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
ia mengadukan tentang kebutuhannya yang mendesak, dan keluarganya yang
harus dinafkahi, lalu aku kasihan kepadanya dan aku lepaskan dia.” Beliau berkata:”Sesungguhnya ia telah membohongimu dan ia akan kembali.”
Maka akupun mengintainya untuk ketiga kalinya, lalu ia datang kembali
mengambil makanan, lalu akupun menangkapnya dan aku berkata:”Sungguh aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan ini adalah yang ketiga kalinya engkau berkata untuk tidak akan kembali (mengulangi mencuri), namun engkaupun kembali.” Ia pun berkata:”Biarkanlah aku mengajarimu dengan suatu kalimat, yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadamu?” Aku pun berkata:”Apa itu?” Ia berkata:”Jika engkau hendak tidur, bacalah ayat Kursi, (Allah, tiada Ilah selain Dia Yang Mahahidup dan Maha Berdiri sendiri)
sampai akhir ayat, maka senantiasa engkau berada dalam lindungan Allah,
setan tidak akan mendekatimu (untuk menganggu) sampai waktu pagi.” Maka aku pun melepaskan dia. Memasuki waktu pagi hari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku:”Apa yang dilakukan tawananmu?” Aku menjawab:”Ia
mengira bahwa ia telah mengajariku dengan suatu kalimat, yang dengannya
Allah memberikan manfaat kepadaku maka aku pun melepaskannya.” –Dan
mereka (para Shahabat) adalah orang yang paling antusias terhadap
kebaikan dan aku sampaikan kisah itu kepadanya- Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya
ia telah jujur kepadamu, padahal dia adalah sangat pendusta, tahukah
engkau, siapa yang sengkau ajak bicara semenjak tiga malam yang lalu
wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:”Tidak tahu.” Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:”Itu adalah setan.”
Hadits ini dirwayatkan oleh Imamal-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Wakalah, bab 10 Idza Wakkala Rajulan Fataraka al-Wakiilu Syai’an fa Ajaazahu al-Muwakkil Fahuwa Ja’izun hadits no.2311, Fathul Bari 4/568 diriwayatkan pula dalam Shahihnya kitab Bad’il Khalqi, bab Shifatul Iblis wa Junudihi no. 3275 (6/386).
Kisah serupa juga terjadi pada Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, hadits ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani rahimahullah dari gurunya (Syaikhnya), Yahya bin ‘Utsman bin Shalih dengan sanadnya (bersambung) sampai ke Buraidah rahimahullah, sebagaimana yang tercantum dalam al-Mu’jam al-Kabir, yang teksnya sebagai berikut:
عن بريدة قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ مُعَاذَ بن جَبَلٍ، أَخَذَ الشَّيْطَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَيْتُهُ، فَقُلْتُ: بَلَغَنِي أَنَّكَ أَخَذْتَ الشَّيْطَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: نَعَمْ، ضَمَّ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَمْرَ الصَّدَقَةِ، فَجَعَلْتُهُ فِي غُرْفَةٍ لِي، فَكُنْتُ أَجِدُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ نُقْصَانًا، فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي:"هُوَ عَمِلُ الشَّيْطَانِ، فَارْصُدْهُ"، فَرَصَدْتُهُ لَيْلا، فَلَمَّا ذَهَبَ هَوِيٌّ مِنَ اللَّيْلِ أَقْبَلَ عَلَى صُورَةِ الْفِيلِ، فَلَمَّا انْتَهَى إِلَى الْبَابِ دَخَلَ مِنْ خَلَلِ الْبَابِ عَلَى غَيْرِ صُورَتِهِ، فَدَنَا مِنَ التَّمْرِ، فَجَعَلَ يَلْتَقِمُهُ، فَشَدَدْتُ عَلِيَّ ثِيَابِي فَتَوَسَّطتُّهُ، فَقُلْتُ: أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا عَدُوَّ اللَّهِ، وَثَبْتَ إِلَى تَمْرِ الصَّدَقَةِ، فَأَخَذْتَهُ، وَكَانُوا أَحَقَّ بِهِ مِنْكَ، لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَفْضَحَكَ، فَعَاهَدَنِي أَنْ لا يَعُودَ، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي:"مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ؟"قُلْتُ: عَاهَدَنِي أَنْ لا يَعُودَ، قَالَ:"إِنَّهُ عَائِدٌ فَارْصُدْهُ"، فَرَصَدْتُهُ اللَّيْلَةَ الثَّانِيَةَ، فَصَنَعَ مِثْلَ ذَلِكَ وَصَنَعَتُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَعَاهَدَنِي أَنْ لا يَعُودَ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، ثُمَّ غَدَوْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأُخْبِرَهُ، فَإِذَا مُنَادِيهِ يُنَادِي: أَيْنَ مُعَاذٌ؟ فَقَالَ لِي:"يَا مُعَاذُ مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ؟"فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ:"إِنَّهُ عَائِدٌ فَارْصُدْهُ"، فَرَصَدْتُهُ اللَّيْلَةَ الثَّالِثَةَ، فَصَنَعَ مِثْلَ ذَلِكَ، وَصَنَعَتُ بِهِ مِثْلَ ذَلِكَ، وَقُلْتُ: يَا عَدُوَّ اللَّهِ، عَاهَدْتَنِي مَرَّتَيْنِ، وَهَذِهِ الثَّالِثَةُ، لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ، فَيَفْضَحَكَ، فَقَالَ: إِنِّي شَيْطَانٌ ذُو عِيَالٌ، وَمَا أَتَيْتُكَ إِلا مِنْ نَصِيبِينَ، وَلَوْ أَصَبْتُ شَيْئًا دُونَهُ مَا أَتَيْتُكَ، وَلَقَدْ كُنَّا فِي مَدِينَتِكُمْ هَذِهِ حَتَّى بُعِثَ صَاحِبُكُمْ، فَلَمَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِ آيَتَانِ أَنْفَرَتَنَا مِنْهَا، فَوَقَعْنَا بنصِيبِينَ، لا تُقْرَآنِ فِي بَيْتٍ إِلا لَمْ يَلِجْ فِيهِ الشَّيْطَانُ ثَلاثًا، فَإِنْ خَلَّيْتَ سَبِيلِي عَلَّمْتَكَهُمَا، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: آيَةُ الْكُرْسِيِّ، وَآخَرُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ مِنْ قَوْلِهِ:"آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ"[البقرة آية 285] إِلَى آخِرِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ، ثُمَّ غَدَوْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأُخْبِرَهُ، فَإِذَا مُنَادِيهِ يُنَادِي:"أَيْنَ مُعَاذُ بن جَبَلٍ؟"فَلَمَّا دَخَلْتُ عَلَيْهِ قَالَ لِي:"مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ؟"فَقُلْتُ: عَاهَدَنِي أَنْ لا يَعُودَ، فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"صَدَقَ الْخَبِيثُ وَهُوَ كَذُوبٌ، قَالَ: فَكُنْتُ اقْرَأُهُمَا عَلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَلا أَجِدُ فِيهِ نُقْصَانًا"
Dari Buraidah berkata, telah sampai (kabar) kepadaku bahwa Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu menangkap setan pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka aku pun mendatanginya, lalu aku berkata:”Telah sampai kepadaku kabar bahwa engkau pernah menangkap setan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?” Mu’adz radhiyallahu 'anhu menjawab:”Benar. Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mengumpulkan kurma zakat kepadaku, maka akupun menempatkannya
(menyimpannya) di kamarku. Namun aku mendapati kurma itu berkurang
setiap hari. Lalu aku pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam” Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku:”Itu adalah perbuatan (ulah) setan.”
Lalu aku pun mengintainya pada malam harinya. Ketika sebagian malam
telah berlalu, datanglah ia (pencuri) dalam bentuk gajah. Ketika ia
sampai di pintu, ia masuk lewat celah pintu dalam bentuk yang berbeda
dengan bentuk yang semula. Lalu ia mendekati kurma dan mulai memakannya.
Maka aku pun mengencangkan bagian atas bajuku, dan menjadikannya di
tengah-tengah badanku. Maka aku berkata:”Asyhadu Allaa Ilaaha
Illallaahu wa Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rasuuluhu, wahai Musuh Allah!,
Engkau melompat ke atas kurma zakat, lalu engkau mengambilnya. Padahal
mereka (orang-orang berhak menerima zakat) lebih berhak darimu. Sungguh
aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau membongkar kedokmu.” Lalu ia pun berjanji kepadaku untuk tidak mengulanginya. Maka pagi harinya aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau berkata kepadaku:”Apa yang dilakukan tawananmu semalam?” Aku berkata:”Ia berjanji kepadaku untuk tidak kembali lagi.” Nabi berkata:”Ia akan kembali lagi, maka intailah dia.”
Maka aku pun mengintainya pada malam kedua, maka ia pun melakukan
perbuatan yang sama, dan ia pun berjanji kepadaku tidak akan kembali,
maka akupun melepaskannya. Kemudian di pagi hari aku mendatangi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengabarkan hal tersebut, ternyata penyeru beliau memanggil:”Di mana Mu’adz?” Maka beliau bekata kepadaku:”Apa yang diperbuat oleh tawananmu?” Maka aku pun mengabarkannya kepada beliau. Beliau berkata:”Ia akan kembali lagi, maka intailah dia.”
Maka aku pun mengintainya pada malam ketiga, maka ia pun melakukan
perberbuatan yang sama. Maka aku pun berbuat yang sama. Dan aku berkata:”Wahai
musuh Allah, engkau telah berjanji kepadaku dua kali, dan ini yang
ketiga, sungguh aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau membongkar kedokmu.” Maka ia pun berkata:”Aku
adalah setan yang memiliki kelurga yang harus dinafkahi, dan tidaklah
aku mendatangimu kecuali dari setan-setan yang kesusahan (dalam nafkah).
Seandainya aku bisa mendapatkan makanan dari selain ini, maka tidak
akan mendatangimu. Kami dari dulu tinggal di kotamu ini hingga diutuslah
Shahabat kalian (maksudnya Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam-ed.
Ketika diwahyukan kepadanya dua ayat, kalian membuat kami lari dari
kota ini, maka terjatuhlah kami ke dalam kesusahan. Tidaklah kedua ayat
ini dibaca di sebuah rumah melainkah setan tidak akan masuk ke dalamnya
tiga kali. Maka jika engkau melepaskan aku, niscaya aku akan
mengajarkannya kepadamu.” Aku berkata:”Ya.” Ia menjawab:”Ayat kursi dan akhir surat al-Baqarah yaitu firman Allah:"آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ"[البقرة آية 285] sampai akhir ayat.” Maka aku pun melepaskannya. Kemudian di pagi hari aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengabarkan hal tersebut, ternyata penyeru beliau memanggil:”Di mana Mu’adz?” Maka ketika aku masuk ke rumah beliau, beliau bekata kepadaku:”Apa yang diperbuat oleh tawananmu?” Aku menjawab:”Ia berjanji kepadaku bahwa ia tidak akan kembali lagi. Lalu aku kabarkan kepada beliau apa yang dikatakan oleh setan itu” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku:”Si buruk itu telah jujur, padahal ia adalah sang pendusta.” Mu’adz berkata:”Maka aku membaca keduanya setelah itu, dan aku tidak mendapati lagi kekurangan pada kurma zakat tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani rahimahullah dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan dibawakan juga oleh al-Haitsami rahimahullah dalam Majma’uz Zawa’id, dan beliau (al-Haitsami rahimahullah) berkata:”Diriwayatkan
oleh ath-Thabrani dari syaikhnya Yahya bin ‘Utsman bin Shalih dan ia
adalah perawi yang shaduq Insya Allah, sebagaimana dikatakan oleh Imam
adz-Dzahabi dan Ibnu Abi Hatim dan mereka telah memperbincangkannya. Dan
perawi-perawi yang lain dinyatakan tsiqah oleh mereka.”
Sebenarnya masih ada beberapa hadits yang
menceritakan kejadian yang mirip dengan dua kejadian di atas. Dia
antaranya adalah kejadian yang menimpa Abu Usaid as-Sa’idi al-Khazraji radhiyallahu 'anhu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani rahimahullah dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan dibawakan juga oleh al-Haitsami rahimahullah dalam Majma’uz Zawa’id, dan beliau (al-Haitsami rahimahullah) berkata:”Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan para perawinya tsiqah (kredibel) seluruhnya, namun sebagian mereka ada yang lemah.”
Demikian juga kejadian yang dikisahkah oleh anak Ubay bin Ka’ab radhiyallahu 'anhu
dari bapaknya, bahwasanya beliau kedatangan jin yang berbentuk binatang
melata seukuran anak remaja yang memiliki tangan dan berbulu seperti
tangan dan bulu anjing, yang pada akhirnya makhluk tersebut mengajarkan
kepada Ubay radhiyallahu 'anhu cara untuk melindungi diri dari
gangguan jun, yaitu dengan membaca ayat Kursi pada pagi dan sore hari.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra,
hadits no.(10797), Imam ath-Thabrani rahimahullah al-Mu’jam al-Kabir hadits no.(542), Imam al-Haitsami rahimahullah dalam Majma’uz Zawa’id dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib hadits no.(662)
Demikian juga kejadian yang menimpa Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu 'anhu. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya hadits no.(2880), Imam ath-Thahawi rahimahullah dalam Musykilatul Atsar hadits no.(666), Ibnul Atsir dalam Jami’ul Ushul min Ahaditsi Rasul, hadits no.(6250) dan dinyatakan shahih lighairihi oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib hadits no.(1469).
Maka dari sekumpulan hadits-hadits yang lalu,
jelaslah bagi kita salah satu sisi dari beberapa sisi keagungan ayat
yang mulia ini. Ayat ini akan menjadi benteng yang kuat bagi pembacanya,
dan ia juga pemelihara keamanan untuk rumah yang dibacakan di dalamnya,
setan tidak akan memasukinya. Oleh karena itu, hendaknya setiap
muslim mebiasakan diri mebacanya pada pagi dan sore hari, dan ketika
hendak tidur, supaya Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Malaikat untuk menjaganya pada pagi dan sore hari, pada waktu tidur.
Ayat Kursi Ayat Yang Paling Agung Dalam Al-Qur’an
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam Shahihnya dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
يا أبا المنذر: أتدرى أى آية من كتاب الله أعظم؟ قال : قلت : الله ورسوله أعلم ، قال يا أبا المنذر أتدرى أى آية من كتاب الله معك أعظم ؟ قال قلت (الله لا إله إلا هو الحى القيوم ) قال فضرب بصدرى وقال والله ليهنك العلم أبا المنذر
”Wahai Abul Mundzir, tahukah kamu ayat apakah yang paling agung dalam Kitabullah (al-Qur’an)? Aku berkata:”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata lagi:”Wahai Abul Mundzir, tahukah kamu ayat apakah yang ada padamu dari Kitabullah (al-Qur’an) yang paling agung?” Ubay menjawab:”Aku katakan:”(الله لا إله إلا هو الحى القيوم ) ”Ubay berkata lagi:” lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menepuk dadaku dan berkata:”Semoga ilmu menyenangkanmu (Do’a dari Nabi semoga Ubay mudah mendapatkan ilmu).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shahihnya, kitab Shalatul Musafirin bab Fadhlu Shuratil Kahfi wa
Aayatil Kursi hadits no. 810 shahih Muslim dengan tahqiq Muhammad Fuad
‘Abdul Baqi 1/556, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi 6/96, al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman, al-Hakim dalam al-Mustadrak, Imam Ahmad dalam
Musnad, Abu ‘Awanah dalam al-Mustakhraj dan lain-lain.
Terkandung Dalam Ayat Kursi Nama Allah Yang Paling Agung
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari Asma bintu Yazid radhiyallahu 'anha, ia berkata:”Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang kedua ayat ini: الم اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَالْحَيُّ الْقَيُّوم (Ali Imran ayat 1-2)dan اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَالْحَيُّ الْقَيُّوم (ayat Kursi)
إن فيهما اسم الله الأعظم .
”Sesungguhnya dalam kedua ayat ini ada nama Allah yang paling agung.” (HR. Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad, namun sanad didha’ifkan oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth rahimahullah)
Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman al-Bana as-Sa’ati rahimahullah dalam al-Fathu ar-Rabbani berkata:”Diambil faidah dari hadits ini bahwa nama Allah yang paling agung adalah اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَالْحَيُّ الْقَيُّوم .”
Imam al-Hakimrahimahullah dalam al-Mustdrak meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Qasim bin ‘Abdurrahman dari Abi Umamah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:
( إن اسم الله الأعظم لفي ثلاث سور : سورة البقرة وآل عمران وطه )
Sesungguhnya nama Allah yang paling agung ada di dalam tiga surat al-Qur’an; al-Baqarah, Ali-’Imraan dan Thaha.”
Al-Qasim rahimahullah berkata:”Lalu aku mencarinya, maka aku mendapatinya di surat al-Baqarah ayat Kursi
اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُو الْحَيُّ الْقَيُّوم
”Allah tidak ada Ilah yang hak melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).” (QS. Al-Baqarah: 255)
Dan di surat Ali-‘Imraan, firman Allah:
الم اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُو الْحَيُّ الْقَيُّوم ;
”Alif laam miim. Allah, tidak ada Ilah
(yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus
menerus mengurus makhluk-Nya.”(QS. Ali-‘Imraan: 1-2)
Dan di surat Thaha, firman Allah:
وَعَنَتِ الْوُجُوهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّومِ وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا
”Dan tunduklah semua muka (dengan berendah
diri) kepada Yang Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya).
Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang telah melakukan kezaliman.”(QS. Thaha: 111)
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Hakim
dalam al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain hadits no. 1866, dan juga hadits
yang semakna diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Musykilatul Atsar.
Ayat Kursi Adalah Penghulu Ayat-ayat Yang Ada Dalam Al-Qur’an
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:”Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
wasallam bersabda:
لكل شيئ سنام وسنام القرآن سورة البقرة وفيها آية هي سيدة آي القرآن ، هي آية الكرسي ).
Segala sesuatu memiliki puncak dan puncaknya al-Qur’an adalah surat al-Baqarah
dan di dalamnya ada ayat yang ia adalah penghulu ayat-ayat yang ada dalam al-Quran;
yaitu ayat Kursi.”
dan di dalamnya ada ayat yang ia adalah penghulu ayat-ayat yang ada dalam al-Quran;
yaitu ayat Kursi.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, Musnad a-Humaidi
no. 994 dan ‘Abdurrazak dalam Mushannaf no. 6019
no. 994 dan ‘Abdurrazak dalam Mushannaf no. 6019
Pembaca Ayat Kursi Setiap Selesai Shalat Termasuk Ahli Surga
Imam ath-Thabrani, an-Nasaa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Sunni rahimahumullahdan lainnya meriwayatkan dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda,
من قرأ آية الكرسي دبر كل صلاة مكتوبة لم يمنعه من دخول الجنة إلا أن يموت )
”Barang siapa membaca ayat Kursi setiap
selesai shalat wajib, niscaya tidak ada yang menghalangi dia masuk Surga
selain kematian.”
Hadits ini dibawakan pula oleh Imam a-Suyuthi rahimahullah di dalam Jami’il Ahadits dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’i ash-Shaghir hadits no. 6464
HADITS
Lima Dosa Penyebab Dosa
Shahabat Ibnu ’Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghadap ke arah kami dan bersabda:
" يا معشر المهاجرين خصال خمس إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ : لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا. َلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ .وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا .وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ .وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ".
”Wahai sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal
yang jika kalian terjatuh ke dalamnya –dan aku berlindung kepada Allah
supaya kalian tidak menjumpainya- (1)Tidaklah nampak zina di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya, (2)Tidaklah
mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpa paceklik,
susahnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka. (3)
Tidaklah mereka menahan zakat (tidak membayarnya) kecuali hujan dari
langit akan ditahan dari mereka (hujan tidak turun), dan sekiranya bukan
karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan. (4)Tidaklah
mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali
Allah akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; orang
kafir) berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut mengambil sebagian apa
yang mereka miliki(5) Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum
muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Qur’an) dan mengambil
yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam),
melainkan Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka.” (HR. Ibnu
Majah dan Al-Hakim dengan sanad shahih)."
Derajat Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah
(2/1332 no 4019), Abu Nu’aim (8/333), al-Hakim (no. 8623) dan
Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash-Shahihah no. 106)
Penjelasan Hadits
Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang mulia ini disebutkan oleh al-Hafizh al-Munziri rahimahullah dalam kitabnya at-Targhib wa at-Tarhib dalam bab Peringatan dari Mengurangi Takaran dan Timbangan.
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
يا معشر المهاجرين خمس خصال إذا ابتليتم بهن وأعوذ بالله أن تدركوهن)
Maksudnya ada lima sifat atau perbuatan yang
jika kalian terjatuh ke dalamnya, niscaya akan datang azab dan siksaan
dari sisi Allah di dunia disebabkan kelima perbuatan tersebut. Kelima
hal ini wajib bagi setiap orang untuk menjauhinya. Dan wajib bagi mereka
untuk mencermati dan merenungi hadits ini dan hadits-hadits yang lain
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, supaya mereka mengetahui
penyakit-penyakit yang ada di ummat ini, supaya mereka tahu kenapa kaum
Muslimin sekarang terhina di hadapan orang kafir, kenapa orang kafir
bisa menghinakan kaum Muslimin di berbagai tempat?
Maka sebenarnya kesalahannya ada pada diri diri kita sendiri, diri kaum Muslimin sendiri, perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta'alaini:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ [الشورى:30].
”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”(QS. Asy-Syuraa: 30)
Jadi karena perbuatan yang dilakukan oleh kedua tangan manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala menimpakan musibah kepada mereka, baik yang dirasakan di dunia maupun di akhirat.
Zina Tersebar dan Dilakukan Secara Terang-Terangan
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
(لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون والأوجاع التي لم تكن قد مضت في أسلافهم الذين مضوا)
”Tidaklah nampak zina di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya.”
Bencana dan musibah ini menimpa manusia, maka
jika mereka melakukan kemaksiatan ini maka akan datang musibah yang
lain di belakang itu, yaitu musibah-musibah dan penyakit. Musibah ini
adalah perbuatan keji (yaitu zina), apabila ia telah nampak di
tengah-tengah manusia dan tersebar, maka mereka pantas mendapatkan wabah
penyakit yang belum pernah terbesit dalam pikiran mereka dan sama
sekali belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Maka mereka tidak malu lagi untuk berbuat
kemaksiatan, mereka tidak peduli kalau aktivitas haram mereka dilihat
orang, dan bahkan sebagian mereka bangga kalau telah melakukan hal
tersebut. Kita lihat seorang laki-laki berjalan bersama wanita yang
bukan mahramnya, di jalan-jalan, di pantai, mal-mal dan lain-lain.
Mereka melakukan apa saja yang mereka suka dari berbagai macam perbuatan
maksiat tanpa ada rasa bersalah, dan tidak ada satu pun yang
mengingkari dan mencegah perbuatan mereka. Bahkan yang sangat
disayangkan pemerintah di sebagian negeri-negeri Islam mendorong dan
membuat undang-undang yang membolehkan zina.
Mereka melarang para pemuda untuk menikah
dini, mereka memberikan persepsi yang buruk bagi pernikahan dini.
Seolah-olah masalah rumah tangga yang ada adalah disebabkan oleh nikah
dini, padahal kalau kita lihat orang-orang yang nikah di usia “matang”
pun banyak yang mengalami permasalahan rumah tangga. Mereka lebih
menganjurkan pacaran walaupun dalam waktu yang lama dari pada menikah.
Padahal hal itu adalah salah satu sarana menuju perzinaan, dan juga
penyebab tersebarnya penyakit kelamin yang menular. Dan
penyakit-penyakit tersebut adalah bentukl teguran Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
Dan hendaknya kita pun ikut andil dalam
mencegah dan menanggulangi tersebarnya perzinaan dan sarana-sarananya,
karena musibah-musibah yang ditimbulkan dari perbuatan zina juga bisa
menimpa orang yang tidak melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً [الأنفال:25]
”Dan takutlah kalilan pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kalian.”(QS. Al-Anfaal: 25)
Maka musibah tidak hanya menimpa
pelaku-pelaku zina itu saja, namun ia akan menimpa semuanya, baik pelaku
maupun bukan. Wallahu Musta’an.
Mengurangi Takaran dan Timbangan
Sabda beliau shallallohu 'alaihi wasallam:
(ولم ينقص المكيال والميزان إلا أخذوا بالسنين، وشدة المؤنة، وجور السلطان)
”Tidaklah mereka mengurangi takaran dan
timbangan kecuali akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan
kezaliman penguasa atas mereka.
Maksudnya adalah mereka ditimpa kekeringan dan paceklik, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala
menahan hujan dari mereka (Dia tidak menurunkan hujan untuk mereka),
dan jika bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan maka Allah akan mengirimkan
musibah kepada mereka berupa serangga, ulat dan hama penyakit lain yang
merusak tanaman. Dan jika tanaman itu berbuah maka buahnya tidak ada
rasa manis dan segar. Betapa banyak petani yang melakukan kecurangan
mendapati buah-buahannya tidak memiliki rasa.
Dan disebutkan di dalamnya hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
لما قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة كانوا من أخبث الناس كيلاً
”Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah, mereka (penduduk Madinah) adalah termasuk orang yang paling curang dalam takaran.”
Maksudnya, penduduk Madinah dan kaum Anshar radhiyallahu 'anhum sebelum datangnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
ke Madinah, dahulu mereka sudah terbiasa dengan bertansaksi dalam jual
beli. Dan mereka adalah manusia yang paling curang dalam takaran, atau
termasuk di antara manusia yang paling curang dalam takaran. Yakni,
mereka curang dalam masalah takaran dan timbangan, dan mereka
menguranginya dalam masalah itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa ayat al-Qur’an. Dan di antara ayat yang turun adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَيْلُُ لِلْمُطَفِّفِينَ {1} الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ {2} وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ {3}
”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang
lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin: 1-3)
Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
pun membacakannya di hadapan mereka. Maka setelah itu mereka (penduduk
Madinah dan kaum Anshar) menjadi orang yang paling baik/bagus dalam
masalah timbangan dan takaran. Ini adalah makna hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dan al-Baihaqi rahimahumullah dalam Syu’abul Iman dan yang lainnya. Dan hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah)
Jadi karena kecurangan mereka terhadap
sesamanya, maka Allah menghukum mereka dengan adanya kekeringan dan
paceklik, kehidupan yang susah, kebutuhan yang semakin bertambah, harga
barang-barang yang semakin naik dan ditambah lagi dengan kezahaliman
penguasa terhadap mereka. Oleh sebab itu kalau kita ingin lepas dari
berbagai macam musibah di atas maka kuncinya adalah kejujuran ketika
menakar dan menimbang dan berlaku adil dalam berjual beli.
Enggan Membayar Zakat
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam[ r]
وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا
وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا
”Tidaklah mereka menahan zakat (tidak
membayarnya) kecuali hujan dari langit akan ditahan dari mereka (hujan
tidak turun), dan sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia
tidak akan diberi hujan.”
Jika manusia menahan zakat mereka, tidak mau
menunaikannya, dan membuat siasat (tipu muslihat) supaya bisa lepas dari
kewajiban zakat, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menahan dan
tidak menurunkan hujan kepada mereka. Seandainya tidak karena
keberadaan binatang-binatang niscya Allah tidak akan menurunkan hujan
kepada manusia, karena manusia tidak berhak mendapatkan hujan tersebut.
Ini tentunya sesuai dengan sebuah kaidah bahwasanya balasan itu sesuai
dengan jenis perbuatannya.
Melanggar Perjanjian
وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ
وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ
” Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka
dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh mereka
(dari kalangan selain mereka; orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu
musuh tersebut mengambil sebagian apa yang mereka miliki."
Akibat Berhukum Dengan Selain Al-Qur’an dan As-Sunnah
Sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
”Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum
muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Qur’an) dan mengambil
yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam),
melainkan Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka.”
Maksudnya, jika mereka tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengambil kebaikan dari Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
maka Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka. Maka jikalau
mereka meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga mereka berhukum
dengan selain yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala,
maka Allah akan menjadikan sebagian mereka musuh bagi sebagian yang
lain, karena urusan mereka semata-mata hanyalah seputar dunia. Lalu
Allah cabut kebaikan dari hati-hati mereka, dan akhirnya datanglah siksa
dari Rabb semesta Alam.
FIKIH
Kewajiban Menyimak Khutbah
Di antara kewajiban hadirin adalah mendengarkan
khutbah, tidak boleh berbicara ketika imam sedang berkhutbah, hal ini
menunjukkan bahwa khutbah Jum’at merupakan sesuatu yang sangat penting
sehingga hadirin tidak patut menyibukkan diri dengan selainnya.
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda,
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda,
إذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika kami berkata kepada teman di dekatmu pada hari Jum’at, ‘Diam’, sementara imam sedang berkhutbah maka kamu telah berbuat sia-sia.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Makna sabda Nabi saw, “Kamu telah berbuat sia-sia.” Ada yang berkata, “Kamu telah gagal mendapatkan pahala.” Ada yang berkata, “Kamu telah berbicara.” Ada yang berkata, “Kamu telah melakukan kesalahan.” Ada yang berkata, “Shalat Jum’atmu batal.” Ada yang mengatakan, “Shalat Jum’atmu menjadi Zhuhur.”
Syaikh al-Albani berkata, “Pendapat yang terakhir dan yang sebelumnya yang mirip dengannya adalah pendapat yang kami pegang, tafsir hadits terbaik adalah dengan hadits, dan Nabi saw telah bersabda, ‘Dan barangsiapa berbuat sia-sia dan melangkahi pundak orang-orang maka dia hanya mendapatkan pahala Zhuhur.’ Dan inilah yang dipastikan oleh Ibnu Khuzaemah dalam Shahihnya.” Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 716.
Hadits yang disebutkan oleh Syaikh al-Albani di atas –dan beliau menyatakannya hasan shahih dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 721- diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Khuzaemah dari Abdullah bin Amru bin al-Ash.
Jika orang yang berkata kepada rekannya, “Diam.” dianggap telah lagha padahal dia mengajak kepada yang baik, lalu bagaimana dengan ucapan lainnya?
Termasuk dalam hal ini bermain-main dengan jari atau baju atau lainnya, berdasarkan sabda Nabi saw, “Dan barangsiapa menyentuh kerikil maka dia telah lagha.” Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah. Termasuk dalam hal ini menggerakkan tasbih dengan jari sambil berdzikir. Termasuk dalam hal ini adalah menengok kanan-kiri, memperhatikan orang-orang yang hadir dan sebagainya, karena hal tersebut menyibukkan diri dari khutbah.
Jika ada yang mengucapkan salam maka tidak dijawab saat itu, tetapi setelah khatib selesai dari khutbah pertama atau kedua, kembali kepada kapan dia mengucapkan salam. Jika bersin maka yang bersangkutan cukup tahmid dengan pelan dan yang mendengarnya tidak menjawab dengan yarhamukallah.
Jika mendengar nama Nabi saw disebut, maka cukup mengucapkan shalawat dengan suara pelan agar tidak mengganggu tetangganya. Jika neraka disebut maka memohon perlindungan kepada Allah darinya dengan pelan. Jika surga disebut maka memohonnya kepada Allah dengan suara pelan. Jika khatib berdoa maka mengamini doanya dengan suara pelan.
Jika ada yang bertanya tentang sesuatu sekalipun tentang ilmu yang bermanfaat maka tidak perlu menjawabnya, Abu Dzar berkata, “Aku datang ke masjid sementara Nabi saw sedang berkhutbah, aku duduk di samping Ubay bin Kaab, Nabi saw membaca surat at-Taubah, aku bertanya kepada Ubay, ‘Kapan surat ini diturunkan?’ Ubay memandangku dengan muka masam dan tidak menjawabku, hal ini berulang tiga kali, selesai shalat aku menanyakan hal itu kepada Ubay, dia berkata, ‘Kamu tidak mendapatkan apa-apa dari shalatmu kecuali kesia-siaan yang telah kamu lakukan.’
Abu Dzar berkata, “Lalu aku menceritakan hal ini kepada Nabi saw, maka beliau bersabda, ‘Ubay benar.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaemah dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 718.
Larangan berbicara berlaku pada saat khatib berkhutbah, adapun sebelumnya atau sesudahnya atau di antara dua khutbah maka hal tersebut tidak mengapa, namun tidak patut kecuali berbicara dengan baik dan dalam perkara baik.
Larangan berbicara tidak berlaku bagi siapa yang diajak berbicara oleh khatib, dan khatib boleh berbicara kepada sebagian hadirin begitu pun sebaliknya, sebagian hadirin boleh berbicara kepada khatib jika ada maslahat.
Dalam hadits Anas bahwa seorang laki-laki masuk masjid di hari Jum’at sementara Rasulullah saw sedang berdiri berkhutbah, laki-laki itu berkata, “Ya Rasulullah, harta-harta binasa dan jalan-jalan terputus, berdoalah kepada Allah agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Ini berbicaranya orang yang hadir kepada imam.
Dalam hadits laki-laki yang masuk masjid ketika Nabi saw berkhutbah dan Nabi saw bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah shalat wahai fulan?” Dan dia menjawab, “Belum.” Ini pembicaraan antara khatib dengan sebagian yang hadir. Wallahu a’lam.
KHUTBAH
Setelah Ramadhan Berlalu
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ
مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah melimpahkan kepada kita semua nikmat yang demikian besar, salah satunya adalah dipertemukannya kembali dengan hari kemenangan ini. Setelah bulan Ramadhan berlalu, orang akan terbagi menjadi beberapa bagian, namun secara garis besarnya mereka terbagi dua kelompok.
Kelompok yang pertama. Orang yang pada bulan Ramadhan tampak sungguh-sungguh dalam ketaatan, sehinggga orang tersebut selalu dalam keadaan sujud, shalat, membaca Al-Quran atau menangis, sehingga bisa-bisa anda lupa akan ahli ibadahnya orang-orang terdahulu (salaf). Anda akan tertegun melihat kesungguhan dan giatnya dalam beribadah. Namun itu semua hanya berlalu begitu saja bersama habisnya bulan Ramadhan, dan setelah itu ia kembali lagi bermalas-malasan, kembali mendatangi maksiat seolah-olah ia baru saja dipenjara dengan berbagai macam ketaatan kembalilah ia terjerumus dalam syahwat dan kelalaian. Kasihan sekali orang-orang seperti ini.
Sesungguhnya kemaksiatan itu adalah sebab dari kehancuran karena dosa adalah ibarat luka-luka, sedang orang yang terlalu banyak lukanya maka ia mendekati kebinasaan. Banyak sekali kemaksiatan-kemaksiatan yang dapat menghalangi seorang hamba untuk mengucap "La ilaha illallah" ketika sakaratul maut.
Setelah sebulan penuh ia hidup dengan iman, Al-Quran serta amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, tiba-tiba saja ia ulangi perbuatan-perbuatan maksiatnya di masa lalu. Mereka itulah hamba-hamba musiman mereka tidak mengenal Allah kecuali hanya pada satu musim saja (yakni Ramadhan), atau hanya ketika di timpa kesusahan, jika musim atau kesusahan itu telah berlalu maka ketaatannyapun ikut berlalu.
Kelompok yang kedua. Orang yang bersedih ketika berpisah dengan bulan Ramadhan mereka rasakan nikmatnya kasih dan penjagaan Allah, mereka lalui dengan penuh kesabaran, mereka sadari hakekat keadaan dirinya, betapa lemah, betapa hinanya mereka di hadapan Yang Maha Kuasa, mereka berpuasa dengan sebenar-benarnya, mereka shalat dengan sungguh-sungguh. Perpisahan dengan bulan Ramadhan membuat mereka sedih, bahkan tak jarang di antara mereka yang meneteskan air mata.
Apakah keduanya itu sama? Segala puji hanya bagi Allah! Dua golongan ini tidaklah sama, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya, "Katakanlah; Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaan masing-masing .." (Qs.Al-Isra': 84).
Para ahli tafsir mengatakan, makna ayat ini adalah bahwa setiap orang berbuat sesuai dengan keadaan akhlaq yang sudah biasa ia jalani.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Barang siapa berpuasa siang hari di bulan Ramadhan dan shalat di malam harinya, melakukan kewajiban-kewajibannya, menahan pandangannya, menjaga anggota badan serta menjaga shalat jum'at dan jama'ah dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan ketaatannya sesuai yang ia mampu maka bolehlah ia berharap mendapat ridha Allah, kemenangan di Surga dan selamat dari api Neraka. Orang yang tidak menjadikan ridha Allah sebagai tujuannya maka Allah tidak akan melihatnya.Jangan seperti orang yang merusak tenunan yang kuat hingga bercerai berai
Hati-hatilah, jangan seperti seorang wanita yang memintal benang (menenun) dari kain tersebut ia bikin sebuah gamis atau baju. Ketika semuanya telah usai dan nampak kelihatan indah, maka tiba-tiba saja ia potong kain tersebut dan ia cerai beraikan, helai demi helai benang dengan tanpa sebab.
Berhati-hati jualah Anda! jangan sampai seperti seorang yang diberi oleh Allah keimanan dan Al-Quran namun ia berpaling dari keduanya, dan ia lepaskan keduanya sebagaimana seekor domba yang dikuliti, akhirnya ia masuk keperngkap syetan sehingga jadi orang yang merugi, orang yang terjerumus di dalam jurang yang dalam, menjadi pengikut hawa nafsunya, Naudzu billah mindzalik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Dan bacakanlah kepada mereka berita kepada orang yang telah kamu berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian mereka melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syetan sampai ia tergoda, maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki sesunguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu. Tetapi ia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpa-maan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami maka ceritaklah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (Al-A'raaf: 175-176).
Amal yang paling dicintai oleh Allah, Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam pernah ditanya: Amalan apa yang paling di sukai Allah? Beliau menjawab: "Yakni yang terus-menerus walaupun sedikit".
Aisyah radhiyallah 'anha ditanya: Bagaimana Rasulullah mengerjakan sesuatu amalan, apakah ia pernah mengkhusus-kan sesuatu sampai beberapa hari tertentu, ia menjawab: "Tidak, namun Beliau mengerjakan secara terus-menerus, dan siapapun diantara kalian hendaknya ia jika mampu mengerjakan sebagaimana yang di kerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hadits ini memberikan beberapa pelajaran, antara lain:
- Hendaknya, seluruh kebajikan kita laksanakan secara keseluruhan tanpa pilih-pilih menurut kemampuan kita dan dikerjakan secara rutin.
- Tengah-tengah dalam beribadah (sedang-sedang), dan menjauhi segala bentuk berlebihan, agar jiwa selalu bersemangat dan lapang, maka dengan ini akan tercapai segala tujuan ibadah, dan sempurna dari berbagai segi.
- Supaya rutin dalam beramal, suatu amalan meskipun sedikit jika dilakukan secara terus-menerus lebih baik dari pada amalan yang banyak namun terputus.
Dengan demikian amalan yang sedikit namun rutin akan memberi buah dan nilai tambah yang berlipat ganda dari pada amalan banyak yang terputus.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan kemudahan di dalam menjalakan amal ibadah secara terus menerus dan mendapatkan limpahan pahala yang berlipat ganda disisiNya, amin.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ الله لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرّحِيْمُ
[KHUTBAH KEDUA]
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ
أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ
مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Allah Yang Maha Suci dan Maha Mulia telah berfirman kepada hamba dan RasulNya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Beribadahlah kamu kepada Rabb-mu hingga datang kepadamu Al Yaqin". Ya'ni maut. (Qs.Al-Hijr: 99).
Maksud ayat ini adalah: Janganlah kamu berhenti dari beribadah sehingga kamu mati. Jadikanlah batas ibadah adalah batas kehidupan.
Telah berkata hamba Allah Nabi Isa alaihi salam (dalam Al Quran), artinya: "Dan Dia telah memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku masih hidup." (Maryam: 31).
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya jika anak adam meninggal maka putus sudah amalnya.."
Maka dari sini tiada yang membatasi atau memutuskan amal ibadah kecuali bila telah datang maut. Jadi meskipun bulan Ramadhan telah berlalu maka seoarang Mukmin hendaknya jangan berhenti dari menjalankan puasa, karena masih banyak puasa-puasa yang lain yang disyariatkan dalam waktu setahun seperti puasa tiga hari dalam tiap bulan, puasa senin kamis, puasa Arofah dan lain-lain. Demikian juga meskipun qiyam di bulan Ramadhan (tarawih) telah usai maka seorang mukmin janganlah berhenti dari menjalakan shalat malam.
Jama’ah shalat Jum’at rahimani wa rahimakumullah
Maka hendaklah Anda bersemangat untuk tetap teruskan kontinyu dalam beribadah sesuai dengan kemampuan Anda, dan perlu Anda ketahui beberapa cara untuk tetap berada di atas dinnullah dan ketaatan kepada-Nya:
- Berdo'a supaya senantiasa tetap diatas agama Allah, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak-banyak membaca do'a, dengan sabdaNya: "Wahai dzat yang membolak-balikkan hati tetapkan-lah hatiku di atas agama-Mu (HR. At-Tirmidzi 4/390).
- Sabar, firman Allah,
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ غُرَفًا تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا نِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ (58) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (59) [العنكبوت/58، 59]
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal. (yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya
(Al-Ankabut: 58-59). - Menelusuri jejak orang-orang shaleh, firman Allah
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (120) [هود/120]
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman(Hud: 120). - Dzikrullah dan membaca Al-Quran.
- Mempelajari ilmu syar'i dan mengamalkannya, firman Allah
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ [النحل/102]
Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Qs.An Nahl: 102).
- Terakhir, ketahuilah bahwa termasuk ciptaan Allah adalah Surga, yang jika anda ingin mendatanginya nampak penuh dengan kesusahan, dan ciptaan Allah yang lain adalah neraka, yang jika anda mendatanginya terasa sangat menyenangkan. Surga itu dihijab dengan hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sedangkan neraka dihijab dengan syahwat dan hal-hal yang menyenangkan. Maka apakah termasuk orang-orang yang berakal jika seseorang menjual surga dan seisinya dengan kesenangan yang sesaat.
Jikalau Anda berkata: "Sesungguhnya meninggalkan syahwat (kesenangan yang menjerumuskan) itu perkara yang susah dan sulit. Saya (pengarang buku) menjawab: "Sesungguhnya rasa berat itu hanyalah bagi orang-orang yang meninggalkan syahwat bukan karena Allah. Adapun jika anda meninggalkannya secara sungguh-sungguh dan ikhlas, maka tidak akan terasa berat atau susah meninggalkannya kecuali pada awal permulaan saja, dan ini untuk menguji apakah benar-benar ingin meninggalkannnya atau hanya-main-main saja. Jika dalam masa-masa ini mau bersabar maka anda akan mendapati keutamaan dan kenikmatan dari Allah yang begitu membahagiakan, karena orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Sebagai perumpamaan dari hal tersebut, yakni kaum muhajirin yang berhijrah meninggalkan harta mereka, tanah kelahiran mereka, kerabat dan teman, semata-mata karena Allah maka akhirnya mengganti dengan rizqi-rizqi luas di dunia dan di surga.
Nabi Ibrahim alaihis salam ketika pergi meninggalkan kaumnya, bapaknya dan apa-apa yang mereka sembah selain Allah, akhirnya Allah memberikan putra Ishaq alaihis salam dan Yakub alaihis salam serta anak turunan yang shaleh, Nabi Yusuf alaihis salam juga manakala ia bisa menahan nafsu dan menjaganya agar tidak tergoda rayuan dari majikannya. Dan ia bersabar di dalam penjara, ia lebih suka kepada penjara tersebut agar menjauhkan diri dari lingkaran kejahatan dan fitnah. Maka akhirnya Allah mengganti dengan kedudukan yang mulia di muka bumi.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اَللّهُمّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنًاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنّكَ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبّنََا لاَتًؤَخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلىَ الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تُحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلىَ الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبّنَا آتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لله رَبّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّهُمّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنًاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنّكَ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبّنََا لاَتًؤَخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلىَ الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تُحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلىَ الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبّنَا آتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لله رَبّ الْعَالَمِيْنَ.
BULETIN
Mengapa Salafiyah
Lahirnya istilah Salafiyah sebenarnya merupakan sebuah tuntutan keadaan dari munculnya berbagai firqah atau kelompok baru dalam tubuh umat Islam. Jadi pada dasarnya sebutan salafiyah, ahlussunnah
dan yang semisal itu tidak akan ada kalau saja dalam tubuh umat Islam
tidak muncul berbagai aliran dan kelompok yang menyimpang dari jalan
Nabi dan para shahabat.
Disebabkan umat Islam terpecah, maka istilah Salafiyah/ahlusssunnah tersebut keberadaannya justru menjadi sebuah keharusan, sebab tanpa dimunculkannya nama ini, kaum muslimin tidak dapat membedakan mana kelompok yang paling sesuai dengan jalan para pendahulunya: Nabi, shahabat dan tabi'in. Banyak dalil shahih yang menunjukkan bahwa ummat Islam ini akan terpecah belah dan mengalami banyak perselisihan seperti disebutkan dalam hadits iftiraq atau hadits Al-Irbadh bin Sariyah.
Dan fakta juga membuktikan bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah tersebut benar-benar terjadi. Belum selesai masa Khulafa' ur Rasyidin umat Islam sudah mulai berpecah belah dan bahkan hingga saling bunuh, yakni dengan munculnya firqah khawarij. Dan seterusnya muncul berbagai kelompok aliran seperti syi'ah, murji'ah, qadariyah, jabbariyah, shufiyah dan lain-lain. Maka dalam kondisi demikian ahlussunnah atau salafiyah menjadi sesuatu yang mau tidak mau pasti ada atau tidak bisa tidak.
Mungkin akan timbul pertanyaan, "Bukankah dengan memunculkan nama salafiyah, ahlussunnah justru akan menambah perpecahan dan memperparah keadaan?" Mengapa kita tidak mengembalikannya sebagaimana pada masa Nabi dan shahabat yaitu Islam atau Muslimin?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus mendudukkan beberapa masalah, yaitu:
Pertama; Sebutan Islam atau muslim secara mutlak itu berlaku ketika kaum muslimin dalam keadaan bersatu, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi dan generasi terbaik setelah beliau.
Ke Dua; Ajaran salafiyah atau ahlussunnah itu adalah ajaran kaum muslimin atau Islam sebelum mereka berpecah. Dan dalam keadaan umat terpecah, terbukti ahlussunnah tetap komitmen dengan para pendahulunya. Jadi esensi ajaran mereka sama sekali tidak berubah atau menyelisihi apa yang dipegang oleh Rasulullah dan para shahabat.
Ke Tiga; Apabila ahlussunnah hanya menggunakan nama Islam secara mutlak, maka tidak ada yang dapat dibedakan antara mereka dengan kelompok-kelompok lainnya yang menyimpang dari al-haq, sebab mereka yang menyimpang dari manhaj nabawi pun mengatasnamakan Islam.
Ke Empat; Penyebutan salafiyah atau ahlusssunnah ini justru untuk mempertahankan identitas dan memberikan tekanan bahwa mereka adalah kaum muslimin yang benar-benar konsisten dengan jalan Islam yang ditempuh Nabi dan para shahabat.
Ke Lima; Salafiyah atau ahlussunnah tidak berintima' atau dinisbatkan kepada seseorang, tetapi berintima’ kepada Nabi dan para shahabat. Salafiyah atau ahlussunnah bukan kelompoknya Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Imam Ibnul Qayyim, bukan pula kelompoknya Syaikh Bin Baz, Syaikh Nashiruddin al-Albani, Syaikh Utsaimin.
Karena itu tidak pernah ada yang namanya amir salafiyah, musyrif 'aam atau sekjen salafiyah. Ini menunjukkan bahwa salafiyah bukanlah firqah yang ta'ashub kepada seseorang, sebagaimana terjadi pada aliran-aliran sesat atau thariqah shufiyah dan selainnya. Mereka menjadikan syaikh mereka sebagai figur sentral dan berta'ashub buta kepada masyayikhnya. Sementara ahlussunnah mengikuti masyayikh dan para ulama semata-mata karena kesesuaian dan komitmen mereka kepada sunnah Nabi.
Ke Enam; Penggunaan istilah ahlussunnah wal jama'ah, al jama'ah, salafiyah, ahlul hadits dan semisalnya adalah sah-sah saja. Sebab itu tidak menghilangkan eksistensi dan identitas keislaman, bahkan memperjelas identitas pada masa perpecahan. Dalil yang paling jelas adalah hadits Nabi, yang merangkan tentang iftiraq (perpecahan ummat). Nabi bersabda,
"Umat yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, umat nashrani telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Seluruh golongan itu masuk neraka kecuali hanya satu kelompok saja. Para shahabat bertanya, "Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "Mereka adalah al-Jama'ah" (HR. Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad, al-Hakim, berkata al-Hakim "Sanad-sanadnya dapat menjadi pegangan untuk menshahihkan hadits ini," disetu-jui oleh adz-Dzahabi. Al Hafidz berkata, "Sanadnya hasan, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Ini adalah hadist shahih masyhur". Dishahihkan oleh asy-Syathibi dalam al-I'tisham, dan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah, no 204).
Perhatikan jawaban Nabi ketika para shahabat bertanya, "Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Yaitu siapakah satu golongan yang akan selamat itu. Maka beliau menjawab, "Mereka adalah al-Jama'ah". Rasulullah tidak mengatakan bahwa mereka adalah al Islam atau Muslimin.
Apakah kita berpikiran bahwa Nabi akan mengganti agama Islam pada saat terjadi perpecahan dengan nama baru yaitu al-Jama'ah? Tidak sama sekali, sebab al Jama'ah yang dimaksudkan Nabi ini tidak lain juga Islam yang beliau praktekkan bersama para shahabat. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda beliau dalam riwayat lain ketika para shahabat bertanya dengan pertanyaan serupa, beliau menjawab, "Man kaana 'ala mitsli maa ana 'alaihil yauma wa ash-habii." Yaitu siapa saja yang seperti aku dan para shahabatku saat ini."
Kalau kita menggunakan nama Islam dalam menyifati satu golongan yang selamat ini, maka jelas tidak akan nyambung. Bagaimanakah kita akan memahami kalimat berikut ini, "Ummat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya di neraka, kecuali hanya satu golongan saja yang selamat, yaitu Islam." Dalam kalimat ini tidak ada yang spesifik, sehingga membutuhkan penekanan bahwa di antara mereka yang menisbatkan diri dalam Islam yang selamat adalah yang Islamnya sesuai dengan Islamnya Nabi dan para shahabat atau jama'ah (kelompok) mereka, yakni Islam ahlussunnah wal jama'ah, salafiyah, ahlul hadist, ahlul atsar dan semisalnya.
Kasus ini mirip dengan yang terjadi pada masa Imam Ahmad bin Hanbal, yakni ketika ada seseorang bertanya kepada beliau, "Apakah tidak cukup kita mengatakan bahwa al-Qur'an kalamullah, tanpa tambahan bukan makhluk? Maka beliau menjawab, "Kalimat itu (Al-Qur'an kalamullah) tidak ada masalah jika diucapkan pada masa shahabat, tetapi untuk saat ini maka harus ditambah dengan kalimat "bukan makhluk" karena kondisinya berbeda." Ucapan beliau ini sangat beralasan, karena pada saat itu menyebar di kalangan kaum muslimin paham mu'tazilah yang berpendapat bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Bahkan paham ini menjadi madzhab resmi pemerintahan kala itu.
Karena perlunya spesifikasi inilah, seorang pemimpin partai politik di Indonesia menambahkan kata "perjuangan" *) pada nama partai yang dia pimpin. Sebabnya adalah karena ada pihak lain yang mengklaim punya partai dengan identitas yang sama. Nah untuk membedakan antara partainya dengan partai lain yang serupa, serta untuk memperjelas identitas bahwa visinya adalah visi yang semula ketika partai belum pecah, maka dia menambahkan kata perjuangan tersebut. Padahal partai tersebut hanya terpecah menjadi dua kubu saja, lalu bagaimana dengan ummat Islam yang oleh Rasulullah sudah dipastikan akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan?
Maka sangat beralasan dan bahkan merupakan keharusan jika kita menambahkan kalimat ahlussunnah (sunni), salafi pada identitas keislaman kita, pada saat kondisi kaum muslimin sedang terpecah belah. Jadi kesimpulan-nya tidak ada yang perlu dikhawatirkan atau ditakutkan dengan sebutan salafiyah, ahlussunnah atau al jama'ah. (Kholif Muttaqin)
Disebabkan umat Islam terpecah, maka istilah Salafiyah/ahlusssunnah tersebut keberadaannya justru menjadi sebuah keharusan, sebab tanpa dimunculkannya nama ini, kaum muslimin tidak dapat membedakan mana kelompok yang paling sesuai dengan jalan para pendahulunya: Nabi, shahabat dan tabi'in. Banyak dalil shahih yang menunjukkan bahwa ummat Islam ini akan terpecah belah dan mengalami banyak perselisihan seperti disebutkan dalam hadits iftiraq atau hadits Al-Irbadh bin Sariyah.
Dan fakta juga membuktikan bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah tersebut benar-benar terjadi. Belum selesai masa Khulafa' ur Rasyidin umat Islam sudah mulai berpecah belah dan bahkan hingga saling bunuh, yakni dengan munculnya firqah khawarij. Dan seterusnya muncul berbagai kelompok aliran seperti syi'ah, murji'ah, qadariyah, jabbariyah, shufiyah dan lain-lain. Maka dalam kondisi demikian ahlussunnah atau salafiyah menjadi sesuatu yang mau tidak mau pasti ada atau tidak bisa tidak.
Mungkin akan timbul pertanyaan, "Bukankah dengan memunculkan nama salafiyah, ahlussunnah justru akan menambah perpecahan dan memperparah keadaan?" Mengapa kita tidak mengembalikannya sebagaimana pada masa Nabi dan shahabat yaitu Islam atau Muslimin?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus mendudukkan beberapa masalah, yaitu:
Pertama; Sebutan Islam atau muslim secara mutlak itu berlaku ketika kaum muslimin dalam keadaan bersatu, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi dan generasi terbaik setelah beliau.
Ke Dua; Ajaran salafiyah atau ahlussunnah itu adalah ajaran kaum muslimin atau Islam sebelum mereka berpecah. Dan dalam keadaan umat terpecah, terbukti ahlussunnah tetap komitmen dengan para pendahulunya. Jadi esensi ajaran mereka sama sekali tidak berubah atau menyelisihi apa yang dipegang oleh Rasulullah dan para shahabat.
Ke Tiga; Apabila ahlussunnah hanya menggunakan nama Islam secara mutlak, maka tidak ada yang dapat dibedakan antara mereka dengan kelompok-kelompok lainnya yang menyimpang dari al-haq, sebab mereka yang menyimpang dari manhaj nabawi pun mengatasnamakan Islam.
Ke Empat; Penyebutan salafiyah atau ahlusssunnah ini justru untuk mempertahankan identitas dan memberikan tekanan bahwa mereka adalah kaum muslimin yang benar-benar konsisten dengan jalan Islam yang ditempuh Nabi dan para shahabat.
Ke Lima; Salafiyah atau ahlussunnah tidak berintima' atau dinisbatkan kepada seseorang, tetapi berintima’ kepada Nabi dan para shahabat. Salafiyah atau ahlussunnah bukan kelompoknya Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Imam Ibnul Qayyim, bukan pula kelompoknya Syaikh Bin Baz, Syaikh Nashiruddin al-Albani, Syaikh Utsaimin.
Karena itu tidak pernah ada yang namanya amir salafiyah, musyrif 'aam atau sekjen salafiyah. Ini menunjukkan bahwa salafiyah bukanlah firqah yang ta'ashub kepada seseorang, sebagaimana terjadi pada aliran-aliran sesat atau thariqah shufiyah dan selainnya. Mereka menjadikan syaikh mereka sebagai figur sentral dan berta'ashub buta kepada masyayikhnya. Sementara ahlussunnah mengikuti masyayikh dan para ulama semata-mata karena kesesuaian dan komitmen mereka kepada sunnah Nabi.
Ke Enam; Penggunaan istilah ahlussunnah wal jama'ah, al jama'ah, salafiyah, ahlul hadits dan semisalnya adalah sah-sah saja. Sebab itu tidak menghilangkan eksistensi dan identitas keislaman, bahkan memperjelas identitas pada masa perpecahan. Dalil yang paling jelas adalah hadits Nabi, yang merangkan tentang iftiraq (perpecahan ummat). Nabi bersabda,
"Umat yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, umat nashrani telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Seluruh golongan itu masuk neraka kecuali hanya satu kelompok saja. Para shahabat bertanya, "Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "Mereka adalah al-Jama'ah" (HR. Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad, al-Hakim, berkata al-Hakim "Sanad-sanadnya dapat menjadi pegangan untuk menshahihkan hadits ini," disetu-jui oleh adz-Dzahabi. Al Hafidz berkata, "Sanadnya hasan, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Ini adalah hadist shahih masyhur". Dishahihkan oleh asy-Syathibi dalam al-I'tisham, dan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah, no 204).
Perhatikan jawaban Nabi ketika para shahabat bertanya, "Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Yaitu siapakah satu golongan yang akan selamat itu. Maka beliau menjawab, "Mereka adalah al-Jama'ah". Rasulullah tidak mengatakan bahwa mereka adalah al Islam atau Muslimin.
Apakah kita berpikiran bahwa Nabi akan mengganti agama Islam pada saat terjadi perpecahan dengan nama baru yaitu al-Jama'ah? Tidak sama sekali, sebab al Jama'ah yang dimaksudkan Nabi ini tidak lain juga Islam yang beliau praktekkan bersama para shahabat. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda beliau dalam riwayat lain ketika para shahabat bertanya dengan pertanyaan serupa, beliau menjawab, "Man kaana 'ala mitsli maa ana 'alaihil yauma wa ash-habii." Yaitu siapa saja yang seperti aku dan para shahabatku saat ini."
Kalau kita menggunakan nama Islam dalam menyifati satu golongan yang selamat ini, maka jelas tidak akan nyambung. Bagaimanakah kita akan memahami kalimat berikut ini, "Ummat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya di neraka, kecuali hanya satu golongan saja yang selamat, yaitu Islam." Dalam kalimat ini tidak ada yang spesifik, sehingga membutuhkan penekanan bahwa di antara mereka yang menisbatkan diri dalam Islam yang selamat adalah yang Islamnya sesuai dengan Islamnya Nabi dan para shahabat atau jama'ah (kelompok) mereka, yakni Islam ahlussunnah wal jama'ah, salafiyah, ahlul hadist, ahlul atsar dan semisalnya.
Kasus ini mirip dengan yang terjadi pada masa Imam Ahmad bin Hanbal, yakni ketika ada seseorang bertanya kepada beliau, "Apakah tidak cukup kita mengatakan bahwa al-Qur'an kalamullah, tanpa tambahan bukan makhluk? Maka beliau menjawab, "Kalimat itu (Al-Qur'an kalamullah) tidak ada masalah jika diucapkan pada masa shahabat, tetapi untuk saat ini maka harus ditambah dengan kalimat "bukan makhluk" karena kondisinya berbeda." Ucapan beliau ini sangat beralasan, karena pada saat itu menyebar di kalangan kaum muslimin paham mu'tazilah yang berpendapat bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Bahkan paham ini menjadi madzhab resmi pemerintahan kala itu.
Karena perlunya spesifikasi inilah, seorang pemimpin partai politik di Indonesia menambahkan kata "perjuangan" *) pada nama partai yang dia pimpin. Sebabnya adalah karena ada pihak lain yang mengklaim punya partai dengan identitas yang sama. Nah untuk membedakan antara partainya dengan partai lain yang serupa, serta untuk memperjelas identitas bahwa visinya adalah visi yang semula ketika partai belum pecah, maka dia menambahkan kata perjuangan tersebut. Padahal partai tersebut hanya terpecah menjadi dua kubu saja, lalu bagaimana dengan ummat Islam yang oleh Rasulullah sudah dipastikan akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan?
Maka sangat beralasan dan bahkan merupakan keharusan jika kita menambahkan kalimat ahlussunnah (sunni), salafi pada identitas keislaman kita, pada saat kondisi kaum muslimin sedang terpecah belah. Jadi kesimpulan-nya tidak ada yang perlu dikhawatirkan atau ditakutkan dengan sebutan salafiyah, ahlussunnah atau al jama'ah. (Kholif Muttaqin)
FATWA
Hanya Nabi Muhammad SAW Sebagai Khatam an-Nabiyyin
( Penutup Para Nabi )
TANYA:
Assalamu ‘alaikum, Kelompok Ahmadiyah mengklaim (atau kelompok apa saja yang mengklaim demikian-red) bahwa makna ‘Khatam al-Anbiya`’ (Penutup para nabi) bukanlah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai akhir (penutup) para nabi. Seberapa jauh kebenaran statement seperti ini? Dan bagaimana keshahihan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radiyallahu 'anha, “Katakanlah, sesungguhnya ia adalah Khatam (penutup) para nabi dan jangan katakan ‘tidak ada nabi setelahnya.’” (Takmilah Majmu’ al-Bahr, halaman 88). Imam as-Suyuthi berkata, “Sesungguhnya al-Mughirah juga mengatakan hal itu.” (ad-Durr al-Mantsur)
JAWAB:
Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah atas Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, wa ba’du:
Kelompok ini menyimpang dari haq (kebenaran), sesat dari jalan yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim), mendustakan al-Qur`an dan as-Sunnah.
Banyak sekali dalil-dail dari Kitabullah dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa tiada nabi setelah nabi kita, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Allah ta'ala befirman, “Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.al-Ahzab:40)
Dan makna ‘Khatam an-Nabiyyin’ di dalam ayat tersebut adalah orang yang dengannya ditutup kenabian, lalu dicapkan kepadanya, sehingga tidak akan dibukakan kepada seorang pun setelahnya hingga hari Kiamat.
Sementara itu, banyak sekali hadits-hadits Mutawatir dari Nabi SAW yang menunjukkan bahwa beliau adalah penutup para nabi dan utusan. Di antaranya, hadits di dalam ash-Shahihain; al-Bukhari (3535) dan Muslim (2286), dari hadits Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan para nabi sebelumku adalah seperti perumpamaan seorang laki-laki yang membangun sebuah rumah, lalu ia membuatnya dengan baik dan indah kecuali tempat sebuah ubin di satu pojok. Lalu orang-orang berkumpul di situ dan kagum terhadapnya seraya berkata, ‘Kenapa ubin ini tidak diletakkan (sekalian).!’” Beliau menjawab, “Akulah ubin itu dan akulah penutup para nabi.”
- Di dalam ash-Shahihain; al-Bukhari (4896) dan Muslim (2354) dari hadits Jubair bin Muth’im RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah ‘al-Mahi,’ yang dengannya Allah menghapus kekufuran, aku adalah ‘al-Hasyir’, di mana manusia dikumpulkan di atas kedua kakiku dan aku adalah ‘al-‘Aqib’.” Al-‘Aqib adalah orang yang tidak ada nabi setelahnya.
Dari Tsauban RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya nanti akan ada sebagian dari umatku menjadi para pendusta, yang berjumlah tiga puluh orang, semuanya mengaku sebagai nabi. Dan akulah penutup para nabi itu dan tidak ada nabi setelahku.” (HR.Abu Daud, no.4252 dan lainnya)
Dalam Shahih Muslim (523), dari hadits Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasululah SAW bersabda, “Aku diunggulkan atas para nabi yang lain dengan enam hal: aku diberikan ‘Jawami’ al-Kalim’ (kumpulan perkataan yang ringkas tapi padat makna), aku ditolong dengan rasa ciut (pada musuh), dihalalkan bagiku harta-harta rampasan, bumi dijadikan suci suci dan sebagai tempat sujud, aku diutus kepada seluruh makhluk dan aku sebagai penutup para nabi.”
Al-Hafizh Ibn Katsir berkata, “Allah Tabaraka Wa Ta’ala telah memberitakan di dalam kitab-Nya dan Rasul-Nya di dalam hadits-haditsnya yang mutawatir bahwa tidak ada nabi setelahnya. Hendaklah mereka mengetahui bahwa setiap orang yang mengaku memiliki posisi seperti ini setelahnya, maka ia adalah seorang pendusta, penyebar isu, dajjal, orang sesat lagi menyesatkan. Sekalipun dapat melakukan hal yang di luar kebiasaan, menyajikan atraksi mistik, dan memperagakan beragam jenis sihir dan jampi-jampi…”
Qadhi ‘Iyadh berkata, “Kami mengafirkan orang yang mengklaim kenabian seseorang di samping Nabi kita Muhammad SAW….atau (mengafirkan-red) orang yang mengaku dirinya nabi atau membolehkan mendapatkannya dan mencapai kesucian hati hingga kepada tingkatan itu seperti para filosof dan kaum ekstrem Sufi. Demikian juga, siapa di antara mereka yang mengaku telah diberikan wahyu kepadanya sekalipun tidak mengaku jadi nabi. Mereka itu semua adalah kafir, pendusta Nabi SAW, sebab beliau SAW telah memberitakan bahwa ia adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahnya. Lalu, beliau juga memberitakan dari Allah SWT bahwa ia adalah penutup para nabi.” (asy-Syifa`, 2/1070)
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah RHA dan al-Mughirah RA, maka dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (9/109-110), ia berkata, (bab) Siapa yang tidak suka mengatakan, ‘tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW’, Husain bin Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata, Jarir bin Hazim menceritakan kepada kami, dari ‘Aisyah RHA, ia berkata, “Katakanlah Khatam an-Nabiyyin dan janganlah katakan, ‘tidak ada nabi setelahnya.’”
Abu Usamah menceritakan kepada kami, dari Mujalid, ia berkata, Amir memberitahukan kepada kami, ia berkata, seorang laki-laki yang beada di dekat al-Mughirah bin Syu’bah RA berkata, “Semoga Allah SWT menyampaikan shalawat atas Muhammad SAW, penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahnya.” Al-Mughirah berkata, “Cukup bagimu bila kamu katakan, ‘penutup para nabi,’ sebab kita menceritakan bahwa ‘Isa AS akan keluar (muncul), jika ia keluar (muncul), maka posisinya adalah sebelum beliau SAW dan juga setelahnya.”
Maksud ‘Aisyah RHA dan al-Mughrah RA sangat jelas, yaitu isyarat akan turunnya ‘Isa AS di akhir zaman….
Hal ini didukung oleh firman Allah SWT, “Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.”(QS.an-Nisa`:159)
Juga terdapat hadits-hadits mutawatir dari Nabi SAW yang menunjukkan turunnya ‘Isa AS di akhir zaman.
Ibn Qutaibah berkata, “Adapun perkataan ‘Aisyah RHA, ‘katakanlah kepada Rasulullah SAW, ‘penutup para nabi’ dan jangan katakan ‘tidak ada nabi setelahnya,’ maka itu maksudnya adalah turunnya ‘Isa AS. Perkataannya ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi SAW, ‘Tidak ada nabi setelahku.’ Sebab maksud beliau SAW adalah ‘tidak ada nabi setelahku yang menghapuskan apa yang aku bawa sebagaimana para nabi-nabi terdahulu diutus untuk menghapus (syariat sebelumnya-red). ‘Aisyah RHA ingin mengatakan, “Janganlah kamu mengatakan, ‘sesungguhnya al-Masih tidak turun setelah beliau saw.’” Ini bila diperkirakan hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah dan al-Mughirah itu shahih. Namun, Atsar dari ‘Aisyah RHA itu Munqathi’ (bagian dari hadits dha’if-red), sedangkan pada Atsar al-Mughirah RA terdapat Mujalid bin Sa’id, seorang perawi yang lemah (dha’if). Wallahul Muwaffiq Wal Hadi Ila Sawa`is Sabil (Allah lah Yang Memberi taufik dan Memberi petunjuk kepada jalan yang lurus).
DOA
Larangan Menukil Pembicaraan Kepada Pemerintah
Apabila Tidak Ada Keperluan yang Menuntutnya Karena Takut Adanya Kerusakan yang Ditimbulkannya dan Semisalnya
(1094) Kami meriwayatkan dalam kitab Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari Ibnu Mas'ud radiyallahu 'anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لاَ يُبَلِّغْنِيْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّيْ أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيْمُ الصَّدْرِ.
"Janganlah seseorang dari sahabatku
melaporkan kepadaku tentang perihal seseorang, karena saya ingin keluar
menemui kalian dengan dada yang bersih (lurus)." (Dhaif: Diriwayatkan oleh Ahmad 1/396; al-Bukhari dalam at-Tarikh 3/394; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab Raf'u al-Hadits Min al-Majlis, 2/681, no. 4860; at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib, Bab Fadhlu Azwajihi 5/710, no. 3896 dan 3897; Abu Ya'la, no. 5388; al-Baihaqi dalam asy-Syu'ab, no. 11109-11111; al-Khathib dalam at-Tarikh
10/11; dan al-Baghawi, no. 3571: dari berbagai jalur, dari Isra`il,
dari (as-Suddi), dari al-Walid bin Abi Hisyam, dari Zaid bin Za`idah,
dari Ibnu Mas'ud dengan hadits tersebut.
Mereka telah berselisih pendapat tentang Isra`il dalam sanad ini dengan perselisihan yang tidak parah, dan sesungguhnya illat hadits ini adalah al-Walid bin Abu Hisyam dan Zaid bin Za`idah. Keduanya majhul, tidak dikenal. Benar, ia mempunyai syahid pada al-Baihaqi dalam asy-Syu'ab, no. 11112, akan tetapi dia mu'dhal,
tidak bisa diambil sebagai pedoman, dan hadits ini telah didhaifkan
oleh at-Tirmidzi, al-Azdi, al-Mundziri, adz-Dzahabi dan al-Albani. )
KISAH
Selamat Tinggal Rokok
Dikisahkan oleh Syaikh Dr. Muhammad al-‘Arifi
Aku pernah diundang di malam Ramadhan dua
tahun yang lalu untuk menjadi pembicara dalam satu siaran live di salah
satu siaran televisi. Siaran kala itu berkisar tentang ibadah pada bulan
Ramadhan. Siaran itu dilakukan di Makkah al-Mukarramah pada satu kamar
di salah satu hotel yang bisa melongok di atas Masjidil al-Haram.
Kala itu, kami berbicara tentang Ramadhan.
Para pemirsa televisi bisa melihat dari sela-sela jendela kamar di
belakang kami pemandangan orang-orang yang umrah dan thawaf secara
langsung.
Kala itu pemandangannya sungguh mengagumkan
dan mengharukan, membuat pembicaraan pun semakin berkesan. Hingga
pembawa acara menjadi lembut hatinya, dan menangis di tengah halaqah
itu. Sungguh suasana itu adalah suasana keimanan, dan tidak merusak
suasana itu kecuali salah satu kameramen. Dia memegang kamera dengan
satu tangan, dan tangan yang kedua memegang “Tuhan Sembilan Senti”
menurut istilah Penyair Taufik Ismail, yaitu rokok. Seakan-akan tidak
ada satu waktu yang tersia-siakan dari malam bulan Ramadhan kecuali dia
kenyangkan paru-parunya dengan asap rokok.
Hal ini banyak menggangguku. Penghisap rokok
itu benar-benar mencekikku, tetapi harus bersabar, karena itu adalah
siaran langsung, dan tidak ada alasan, kecuali terpaksa melaluinya.
Berlalulah satu jam penuh, dan berakhirlah kajian itu dengan salam.
Kameramen itu pun mendatangiku –sementara rokok masih ada di tangannya- sembari dia mengucapkan terima kasih dan memuji. Maka kukeraskan genggaman tanganku dan kukatakan, ‘Anda juga, saya berterima kasih atas keikutsertaan Anda dalam menyuting acara keagamaan ini. Saya memiliki satu kalimat, barangkali Anda mau menerimanya.’
Dia pun menjawab, ‘Silahkan… silahkan.”
Kukatakan, ‘Rokok dan siga…” (maksudku sigaret), namun dia memutus pembicaraanku seraya berkata, ‘Jangan menasihatiku… demi Allah, tidak ada faidahnya wahai syaikh.’
Kukatakan, ‘Baik, dengarkan saya… Anda tahu bahwa rokok haram, dan Allah berfirman…’
Dia pun memotong pembicaraanku sekali lagi, ‘Wahai Syaikh, janganlah menyia-nyiakan waktu Anda… saya telah merokok selama 40 tahun… rokok telah mengalir dalam urat nadi saya… tidak ada faidah… selain Anda lebih pandai lagi..!!
Kukatakan, ‘Apa yang ada faidahnya?’
Dia pun merasa tidak enak dariku lalu berkata, ‘Do’akanlah saya… do’akanlah saya.’
Kameramen itu pun mendatangiku –sementara rokok masih ada di tangannya- sembari dia mengucapkan terima kasih dan memuji. Maka kukeraskan genggaman tanganku dan kukatakan, ‘Anda juga, saya berterima kasih atas keikutsertaan Anda dalam menyuting acara keagamaan ini. Saya memiliki satu kalimat, barangkali Anda mau menerimanya.’
Dia pun menjawab, ‘Silahkan… silahkan.”
Kukatakan, ‘Rokok dan siga…” (maksudku sigaret), namun dia memutus pembicaraanku seraya berkata, ‘Jangan menasihatiku… demi Allah, tidak ada faidahnya wahai syaikh.’
Kukatakan, ‘Baik, dengarkan saya… Anda tahu bahwa rokok haram, dan Allah berfirman…’
Dia pun memotong pembicaraanku sekali lagi, ‘Wahai Syaikh, janganlah menyia-nyiakan waktu Anda… saya telah merokok selama 40 tahun… rokok telah mengalir dalam urat nadi saya… tidak ada faidah… selain Anda lebih pandai lagi..!!
Kukatakan, ‘Apa yang ada faidahnya?’
Dia pun merasa tidak enak dariku lalu berkata, ‘Do’akanlah saya… do’akanlah saya.’
Maka akupun memegang tangannya seraya berkata, ‘Mari bersama saya..’
Kukatakan, ‘Mari kita melihat kepada Ka’bah.’
Kukatakan, ‘Mari kita melihat kepada Ka’bah.’
Maka kamipun berdiri di sisi jendela yang
bisa melongok di atas al-Haram. Dan ternyata setiap jengkal dipenuhi
dengan manusia. Antara yang ruku’, sujud, yang sedang umrah, dan sedang
menangis. Sungguh pemandangan yang sangat mengesankan.
Kukatakan, ‘Apakah Anda melihat mereka?’
Dia menjawab, ‘Ya.’
Kukatakan, ‘Mereka datang dari setiap tempat, yang putih, yang hitam… orang Arab dan ‘ajam… yang kaya dan miskin… semuanya berdo’a kepada Allah agar menerima ibadah mereka dan mengampuni mereka…’
Dia menjawab, ‘Benar… benar…’
Kukatakan, ‘Tidakkah Anda menginginkan Allah memberikan kepada Anda apa yang Dia berikan kepada mereka?’
Dia menjawab, ‘Ya… tentu saja.’
Kukatakan, ‘Angkatlah tangan Anda, saya akan berdo’a untuk Anda… dan aminilah do’a saya.’
Dia menjawab, ‘Ya.’
Kukatakan, ‘Mereka datang dari setiap tempat, yang putih, yang hitam… orang Arab dan ‘ajam… yang kaya dan miskin… semuanya berdo’a kepada Allah agar menerima ibadah mereka dan mengampuni mereka…’
Dia menjawab, ‘Benar… benar…’
Kukatakan, ‘Tidakkah Anda menginginkan Allah memberikan kepada Anda apa yang Dia berikan kepada mereka?’
Dia menjawab, ‘Ya… tentu saja.’
Kukatakan, ‘Angkatlah tangan Anda, saya akan berdo’a untuk Anda… dan aminilah do’a saya.’
Akupun mengangkat kedua tanganku lalu kukatakan, ‘Ya Allah, ampunilah dia…’
Dia berkata, ‘Aamiin.’
Dia berkata, ‘Aamiin.’
Aku berdo’a, ‘Ya Allah, angkatlah derajatnya, dan kumpulkanlah dia bersama dengan orang-orang yang dikasihinya di dalam sorga… ya Allah…’
Dan tidak henti-hentinya aku berdo’a hingga hatinya lembut dan menangis… seraya mengulang-ulang, ‘Aamiin… aamiin…’
Tatkala aku ingin menutup do’a kukatakan, ‘Ya Allah, jika dia meninggalkan rokok, maka kabulkanlah do’a ini, jika tidak, maka haramkan dia atas terkabulnya do’a ini.’
Maka pecahlah tangisan laki-laki tersebut, sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan keluar dari kamar tersebut.
Berbulan-bulan telah berlalu, akupun diundang lagi di studio televisi tersebut untuk melakukan siaran langsung.
Saat aku masuk ke bangunan tersebut, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tampak taat beragama menemuiku, kemudian dia mengucapkan salam dengan hangat, lalu mencium kepalaku, dan merendah meraih kedua tanganku untuk menciumnya, dan sungguh dia sangat terkesan.
Kukatakan kepadanya, ‘Mudah-mudahan Allah mensyukuri kelembutan dan adab Anda… saya sungguh menghargai kecintaan Anda… akan tetapi maaf, saya belum mengenal Anda…’
Maka dia berkata, ‘Apakah Anda masih ingat dengan kameramen yang telah Anda nasihati untuk meninggalkan rokok dua tahun yang lalu.’
Kujawab, ‘Ya…’
Dia berkata, ‘Sayalah dia… demi Allah wahai syaikh… sesungguhnya aku tidak pernah meletakkan rokok di mulutku sejak saat itu.’ Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
By : Pengajian Remaja PERI ISLAM ( Pencari Ridho Illahi Ikhlas Subulussalam )
Sekretariat PERI ISLAM:
JL. Ketuhu Karangaglik RT 03 RW 03 Kelurahan Wirasana, Purbalingga 53318
JL. AW Sumarmo Gang Blumbang RT 02 RW 03 Kelurahan Purbalingga Lor, Purbalingga 53311