T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI

Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia.
Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat
(pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih
spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah
yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan
sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas
kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk
diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.
Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428
H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 tahun ini juga
hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak
diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan
1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya
disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi
permanennya? Ada,
Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus
bersepakati untuk mengubah kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang
sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus
penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29
Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat
atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab
sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis,
sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat
astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan
posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul
Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di
atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang
mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul
Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan
rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus
2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang
teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat.
Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan
1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering
kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat
ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria
wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan
awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal
itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu
sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama
ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota
fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah
hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada
Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap
Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul
hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada
kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal
tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi
syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan
(rincinya silakan baca blog saya
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/
). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang
yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab
urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berubalang-ulang, yang
kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa
Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern).
Lalu berkembang hisab
imkan rukyat (visibilitas hilal,
menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab
taqribi (pendekatan) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun
sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari
kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab
ijtimak qablal ghurub
(konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab
wujudul hilal
(hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat
daripada matahari). Kini kriteria
ijtimak qablal ghurub dan
wujudul
hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau
negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab
Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender
cenderung menggunakan kriteria
imkan rukyat karena bisa
dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan
imkan rukyat kini
sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak
astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat
mudah diakses secara online di internet.
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak
pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi
terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul
hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka
mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga
think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali.
Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung
melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi
diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin
jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah,
walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas
“kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa
kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan
sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab,
tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya,
dari
ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul
hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang
diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering
mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan
Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung
resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak
merata di kalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan
kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya
sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya
sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori
seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai
ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga
sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai
muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi
kriteria kelendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah!
Baca juga:
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/04/hisab-wujudul-hilal-muhammadiyah-menghadapi-masalah-dalil-dan-berpotensi-menjadi-pseudosains/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/25/menuju-titik-temu-hisab-wujudul-hilal-dan-hisab-imkan-rukyat/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/03/mengalah-demi-ummat/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/05/kita-kritisi-wujudul-hilal-tetapi-kita-semua-mencintai-dan-menghormati-muhammadiyah/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/04/wujudul-hilal-tidak-ada-dasar-pembenaran-empiriknya/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/30/muhammadiyah-menuju-persatuan-semangat-kalender-unifikasi-didasarkan-pada-hisab-imkan-rukyat/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/05/wujudul-hilal-yang-usang-dan-jadi-pemecah-belah-ummat-harus-diperbarui/
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/01/19/kritik-pakar-astronomi-muslim-dari-timur-tengah-dan-amerika-atas-penetapan-idul-fitri-1432-dan-penggunaan-wujudul-hilal/